The Shattered Light-Chapter 3: – Mata Pedang dan Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 3 - – Mata Pedang dan Bayangan

Lima tahun berlalu sejak malam kelam itu. Di bawah bimbingan Varrok, Kaelen tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, namun di balik ketegaran fisiknya, jiwanya mulai diliputi kekosongan. Dendam yang menjadi bahan bakarnya perlahan mengikis kepolosan masa kecilnya, digantikan oleh kewaspadaan dan kecurigaan terhadap siapa pun yang ditemuinya. Tubuhnya yang dahulu kurus dan rapuh, kini mengeras oleh latihan berat. Tangannya telah akrab dengan gagang pedang, dan langkah kakinya tak lagi gemetar di hadapan bahaya.

Setiap hari dimulai sebelum fajar menyingsing. Varrok membangunkannya dengan suara keras, mengajaknya meniti jalan hutan yang licin, berlari menembus akar-akar tajam. Latihan pedang menjadi rutinitas yang melekat. Kaelen jatuh, terluka, berdarah—tetapi ia selalu bangkit kembali. Tiap luka menjadi bagian dari harga yang ia bayar demi kekuatan.

Namun, kekuatan fisik bukan satu-satunya yang ditempa. Varrok melatih pikirannya untuk tetap tajam, dan hatinya untuk tetap kuat meski didera kebencian. Kaelen mulai memahami bahwa pertempuran sejati bukan hanya soal mengayunkan pedang, tetapi juga menjaga agar dirinya tidak tenggelam dalam kegelapan hatinya sendiri.

Suatu sore, setelah latihan panjang, Varrok membawanya ke sebuah tebing tinggi. Di bawah sana, lembah diselimuti kabut tipis. Varrok menunjuk ke arah cakrawala.

"Di sanalah kota Ordrak, markas besar Ordo Cahaya. Mereka menguasai wilayah ini dengan tangan besi," ujar Varrok dengan suara dalam. "Kaelen, perjalananmu bukan sekadar membalas dendam. Ini tentang meruntuhkan kekuasaan yang korup. Tentang membebaskan orang-orang yang tertindas. Jika kau hanya hidup untuk membalas, maka kau akan menjadi monster yang sama seperti mereka."

Kaelen menggenggam pedangnya erat, jari-jarinya mencengkeram gagang senjata itu hingga memutih. Dadanya berdegup keras, campuran antara amarah, kesedihan, dan ketakutan yang tertahan. Setiap detik berlalu membawanya kembali pada malam pembantaian—teriakan ibunya, tubuh ayahnya yang roboh, dan bau darah yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya. Pedang di tangannya kini bukan sekadar senjata, melainkan penopang satu-satunya bagi tekadnya untuk terus hidup dan membalaskan segalanya. Bayangan malam pembantaian masih jelas di benaknya. Namun, ia mulai memahami apa yang dimaksud Varrok. Dendam bisa membakar semangat, tapi jika tak dikendalikan, ia juga bisa membakar jiwa.

Dalam diam, ia bersumpah. Ia akan menjadi kuat, bukan hanya untuk membalas kematian orang tuanya, tetapi untuk menghancurkan kekuasaan yang telah merenggut segalanya darinya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu—setiap langkah menuju kekuatan adalah langkah yang menjauhkannya dari dirinya yang dulu.

Bab ini menandai transisi Kaelen dari bocah penuh dendam menjadi pemuda yang mulai memahami beban perjuangan. Namun, jalan yang terbentang di depannya masih gelap, dipenuhi pedang dan bayangan yang mengintai.

Updat𝓮d fr𝙤m ƒгeeweɓn૦vel.com.