The Shattered Light-Chapter 43: – Suara di Antara Bayangan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 43 - – Suara di Antara Bayangan

Kaelen merayap perlahan di antara semak-semak yang basah oleh embun. Udara hutan terasa lembap, dingin menusuk kulit, dan aroma tanah bercampur dedaunan busuk menyelimuti indra penciuman. Pepohonan tinggi menjulang seperti penjaga bisu, sementara ranting-ranting tua menggantung bagaikan tangan kurus yang siap meraih siapa pun yang melintas. Cahaya matahari menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan kelam yang menari di tanah berlumpur.

Di belakangnya, Daren dan Ilva mengikuti dengan langkah ringan. Veyla dan Joren berjaga di sisi lain, mata mereka waspada mengamati setiap pergerakan di balik pepohonan. Udara terasa begitu sunyi, hanya sesekali diselingi suara burung yang terbang ketakutan, seakan memberi peringatan akan sesuatu yang mendekat.

Suara nyanyian lirih itu masih terdengar, seperti mengalun dari kejauhan, menelusup di antara angin yang meliuk-liuk di antara pohon-pohon tua. Suara itu semakin jelas, semakin dekat, namun tetap tidak nyata. Sesuatu yang mengusik naluri Kaelen.

"Apa kau dengar itu?" bisik Joren, suaranya sedikit gemetar.

"Dengar," jawab Kaelen pelan, matanya tak lepas dari jalur di depan. "Tetap rapat. Jangan pisah."

Ilva berlutut, menunjuk bekas jejak baru di tanah berlumpur yang lembek. "Lebih segar. Mereka baru saja lewat sini."

Daren mengamati sekitar dengan cermat, tangannya menggenggam busur erat. "Tapi suara itu... bukan manusia biasa. Kau yakin ini pasukan Ordo?"

Kaelen menggeleng. "Aku tidak yakin. Tapi apa pun itu, kita harus tahu."

Veyla mendekat, matanya menyipit. "Ada sesuatu di depan. Aku melihat pergerakan di balik batang pohon besar."

Kaelen memberi isyarat berhenti. Mereka merunduk di balik semak-semak tebal. Kelembapan tanah menyusup ke lutut mereka, namun tak ada yang peduli. Di kejauhan, samar-samar tampak tiga sosok berjubah putih berjalan perlahan di antara pepohonan. Lambang Ordo Cahaya terpampang di dada mereka. Namun, gerakan mereka aneh—kaku, seakan ragu melangkah.

"Pasukan Ordo," bisik Ilva.

"Tapi kenapa... mereka seperti itu?" tanya Joren.

Kaelen memperhatikan lebih seksama. Wajah para prajurit itu pucat, mata mereka kosong seperti boneka tanpa jiwa. Salah satu dari mereka tampak berbisik sendiri, bibirnya bergerak cepat seolah mengucapkan mantra atau doa.

"Ada yang salah," gumam Daren.

Kaelen mengangkat tangan, memberi isyarat mundur. Namun, sebelum mereka bergerak, suara nyanyian itu berubah—menjadi lebih nyaring, lebih menusuk telinga. Telinga Kaelen berdenging, kepalanya berdenyut seakan ditusuk.

"Apa ini?!" seru Joren sambil menutup telinganya.

Tiba-tiba, salah satu prajurit Ordo menoleh tajam ke arah mereka, matanya merah darah. Ia mengeluarkan teriakan melengking yang tidak manusiawi. Suara itu bergema, mengguncang keheningan hutan.

"Ketahuan! Mundur!" perintah Kaelen.

Mereka berbalik dan berlari di antara pohon-pohon, langkah kaki berpacu dengan detak jantung yang menghentak keras. Nyanyian itu berubah menjadi jeritan yang menggema di seluruh hutan, seperti suara makhluk-makhluk yang tersiksa.

Panah melesat dari balik pohon, nyaris mengenai Daren. "Mereka menyerang!" teriaknya.

Kaelen berbalik, menghunus pedangnya. Salah satu prajurit Ordo berlari ke arahnya dengan gerakan liar. Kaelen menangkis tebasan kasar, lalu membalas dengan tusukan ke perut. Darah hitam menyembur—bukan merah, tapi pekat seperti racun. Bau amis bercampur busuk langsung menguar, membuat Kaelen nyaris muntah.

Read 𝓁at𝙚st chapters at ƒrēenovelkiss.com Only.

"Apa-apaan ini?!" seru Ilva.

"Lari ke titik kumpul! Jangan bertarung lama di sini!" teriak Kaelen.

Mereka terus berlari, menghindari anak panah dan serangan membabi buta dari prajurit-prajurit aneh itu. Joren tersandung akar besar, hampir terjatuh, namun Veyla menariknya bangkit dengan kasar.

"Jangan berhenti!" bentaknya.

Mereka akhirnya mencapai tebing kecil yang menghadap ke lembah. Di sana, mereka berhenti, napas tersengal-sengal. Suara nyanyian itu mereda, tetapi gema jeritan prajurit tadi masih terngiang di telinga. Angin lembah berembus dingin, menyapu wajah mereka yang berkeringat. Dari atas, mereka bisa melihat kabut tipis yang menyelimuti pepohonan di bawah sana—tenang, namun terasa mengancam.

"Apakah itu... sihir?" tanya Daren dengan suara tertahan.

Kaelen mengangguk, wajahnya tegang. "Ini bukan hanya Ordo Cahaya. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih gelap."

Ilva meremas gagang belatinya. "Apa kita kembali? Atau...?"

Kaelen menatap hutan yang kembali sunyi. Eryon. Ini pasti permainannya. Atau mungkin lebih buruk.

"Kita kembali. Mereka harus tahu apa yang kita temukan," ujar Kaelen akhirnya.

Mereka pun kembali ke pos dengan hati waspada, membawa kabar bahwa perang ini mungkin lebih mengerikan dari yang mereka duga. Hutan di belakang mereka tetap sunyi, namun Kaelen tahu, sesuatu telah bangkit dari kegelapan. Dan itu baru permulaan.